Sebab Mimpi Harus Dikejar, Dan Mimpi itu Bernama Pengajar
01.32
Sebab Mimpi Harus Dikejar, Dan Mimpi itu Bernama Pengajar - Menjadi seorang guru. Ya, itu merupakan cita-cita terbesar saya dalam hidup ini selain penulis dan wirausahawan.
Saya lahir dari keluarga sederhana. Bapak saya merupakan peternak bebek dan petani yang hebat. Ibu saya sendiri adalah wirausahawan tangguh. Ya, saya tumbuh dalam lingkup keluarga yang mengajarkan arti kerja keras. Bapak merupakan sosok yang mendidik anaknya dengan tegas, jadi dulu itu setiap selesai sekolah saya biasa bantu ngangon bebek di sawah. Haha. Seiring banyaknya kebutuhan rumah tangga ibu saya pun mulai berjualan kacang asin. Saya ingat betul ketika anak-anaknya meminta ikut menaruh rentengan kacang asin di warung-warung, ibu membonceng kami. Saya anak ketiga dari enam bersaudara. Yang konon waktu masih kecil cukup nakal. :D
Di rumah, saya juga biasa mengerjakan pekerjaan seperti menyapu, cuci baju sendiri, dan kadang ketika adik cewek sedang tidak ada di rumah ya membantu cuci piring. Ibu saya sendiri punya satu kebiasaan menarik yakni pentingnya sarapan. Jadi dulu itu kalau kami tidak sarapan dulu artinya tidak akan ada uang suka.
Tentang mimpi atau cita-cita saya pikir untuk orang yang tinggal di desa seperti saya, sejumlah mimpi yang saya inginkan sedikit mustahil. Namun ternyata Allah maha baik sehingga mimpi-mimpi kecil itu perlahan menemukan jodohnya. Dan saya termasuk pribadi yang percaya akan kekuatan doa dan tentunya kerja keras.
Dulu sewaktu TK mimpi saya cuma pengin kenal sama Doraemon atau menjadi salah satu anggota Power Ranger dalam mengamankan dunia. Haha. Lalu ... menginjak bangku SD mimpi saya bergeser ingin menjadi penyiar radio karena di rumah cukup sering menyalakan radio daripada televisi. Rasanya cukup keren ya jadi penyiar radio itu. Mimpi itu pun berubah menjelang SMP dan sangat ingin menjadi guru atau reporter berita. Ah ..., nyatanya di SMA mimpi itu pun berubah. Namun cita-cita menjadi guru tetap kukuh adanya. Masa SMA saya sangat ingin jadi penulis novel best seller yang karyanya bakal difilmkan. Amin. Hal ini mungkin juga tidak lepas karena dulu itu saya pernah dapat pinjaman novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan ketika ada acara pondok romandhon guru memutarkan film tersebut sebagai bahan pembelajaran bagi kami. Juga saya ingin menjadi penulis skenario FTV saking hobinya menonton tayangan tersebut. Selain itu saya juga kepengin jadi pegawai bank. Tapi lucunya saya dulu justru mengambil jurusan IPA. XD
Tapi rasanya itu semua cuma mimpi abu-abu.
Ya, karena setelah lulus SMA saya tidak melanjutkan kuliah karena tentunya tidak ada biaya. Pilihan terbaik adalah mencari kerja.
Tapi nyatanya mencari kerja itu tidak mudah. Saya diterima kerja di sebuah rumah makan dengan gaji 500-600 ribu setiap bulan, kerjanya full. Ini tahun 2011 dan bersih. Artinya saya tidur dan makan di sana. Di sini saya menemukan banyak pribadi baru yang hangat. Keluarga. Mungkin itu yang saya rasakan kala itu, teman-teman satu kerjaan sangat menyenangkan. Enam bulan berlalu tanpa terasa dan tanpa ada tabungan. Haha. Artinya kerja serasa tidak kerja karena tidak ada yang apaya istilahnya, kalau orang jawa mungkin nyentel kali ya.
Lalu saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan mendapat info lowongan kerja di Gresik. Tepatnya di salah satu pabrik mie instan yang cukup populer di Indonesia. Diterima setelah menjalani rangkaian syarat lewat agency. Gajinya serius besar. Namun nyatanya saya tidak betah. Xixixi. Hanya bertahan semingguan dan pulang. Kerjanya keras yakni mengangkat bak berisi bawang kupas lalu diberikan kepada pengolah yang dicampur tepung. Haha, tapi ternyata tidak hanya saya saja ketika itu yang memutuskan keluar, teman saya pun ikut keluar karena tidak betah. Well, jadi memang selain mental, fisik pun harus kuat kalau kerja di pabrik. :D
Ngomong-ngomong ijazah saya ditahan ketika itu sebelum melunasi biaya seragam. Ternyata gaji saya yang cuma 3-4 harian tersebut sudah bisa melunasi biaya seragam yang sekian ratus ribu tersebut. Nah kan lumayan besar ya.
Lalu saya balik lagi kerja di tempat sebelumnya. Di rumah makan. Hanya beberapa bulan sampai akhirnya orangtua saya mengatakan ingin menguliahkan saya. Ini semacam angin segar kali ya. Namun ketika itu saya disuruh kuliah di universitas terbuka, ya PGSD. Tapi karena sejumlah hal yang tidak tentu saya pun menanyakan perihal kampus dengan biaya terjangkau kepada guru SMP saya. Pilihan kampus keguruan pun diberikan beliau pada saya. Pun, akhirnya kampus tersebut yang saya pilih setelah merundingkan dengan bapak dan ibu.
Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Jalan awal mulai terbuka. Saya juga dibelikan laptop oleh orangtua kala itu. Sempat kepikiran ingin kuliah sambil kerja untuk meringankan biaya kuliah, tapi ternyata kala itu tidak banyak lowongan kerja. Adapun dengan sejumlah syarat yang tidak memenuhi, semisal kerja fulltime.
Sampai suatu ketika di akhir tahun 2012 saya berpikir laptop ini buat apa? Bisa menghasilkan uang nggak sih?
Dan, saya berpikir untuk mulai menulis. Menulis yang awalnya di buku tulis lalu dipindahkan ke laptop. Iya, sebenarnya saya sendiri masih kagok menggunakan piranti tersebut. :D
Saya mulai bergabung ke sejumlah grup kepenulisan sampai akhirnya ..., saya menemukan sejumlah grup yang memang oke buat belajar. Cerpen pertama yang saya bikin saya kirim. Oh iya sejatinya saya suka menulis sejak SMA. Menulis di buku tulis dengan kisah-kisah ala ftv. Dulu bahkan sempat ketika saking asyiknya menulis di buku, bapak sempat mengatakan ingin membakar buku saya. Well, haha ... mungkin karena dulu itu saya lupa tidak melakukan sesuatu. Maybe, nyusul ngangon bebek. Wahaha.
Tentu tidak. Ya, saya memang masih nol istilahnya di dunia kepenulisan. Cerpen saya tersebut mendapat sejumlah tanggapan pedas dan membuat saya jatuh. Hahaha. Bersyukurnya perasaan itu lekas hilang dengan membaca sejumlah komentar positif dan melupakan sejenak komentar kekurangan, meski pelan-pelan cerpen tersebut saya perbaiki.
Tahun 2013, awal tahun saya meniatkan diri benar-benar terjun ke dunia literasi. Artinya saya harus punya target media yang jelas. Ingin membuktikan jika saya ini layak. Cerpen yang saya bikin juga saya yakinkan layak beradu di media. Meski sejatinya saya ini merupakan type yang selalu tidak pede dengan karya sendiri.
Ya, media kecil yang saya yakin bakal mudah menembusnya. Target saya ketika itu dapat honor sih. Haha. Namun ternyata menembus media kecil pun butuh beberapa kali penolakan. Cerpen saya akhirnya dimuat di Malang Post pada Januari 2013. Ternyata tidak ada honor. Namun, perasaan suka itu bungah sekali.
Saya pun mulai mengincar media lain, ketika itu Fajar Makasar adalah pilihan saya. Ternyata cerpen pertama saya dimuat, menyusul beberapa cerpen lain (yang sayangnya baru saya ketahui beberapa tahun setelah dimuat). Di sini ada honornya, 50 ribu untuk 1 cerpen. Sayangnya ternyata honor cerpen saya tidak dibayarkan. Sedih? Iya, karena ternyata tidak satu cerpen yang dimuat. Yang jadi pertanyaan setiap ditagih via e-mail tidak pernah ada tanggapan. Saya pun mulai melupakan media ini dan sempat mutung nulis beberapa bulan.
Cerpen saya akhirnya menemukan muaranya untuk pertama kali di Majalah Hai. Majalah cowok kalangan anak muda di mana kontennya hampir semua saya suka, termasuk rubrik cerpennya. Media ini sangat berkesan bagi saya. Dulu redakturnya memberikan kesempatan pada saya merevisi cerpen yang saya kirim. Tanggapannya pun positif dengan membalas e-mail revisi saya, lalu beberapa minggu setelahnya memberikan kabar jika akan dimuat dengan memberikan alamat e-mail penagihan honor jika lewat tenggat.
Waw. Waw. Pikir saya kala itu.
Lalu saya pun mulai mengirimkan sejumlah cerpen lain ke beberapa media. Alhamdulilah, jawaban atas segala keresahan itu terjawab. Allah maha baik. Saya percaya ketika salah satu pintu ditutup, mungkin rezeki kita ada di pintu yang lain dengan lebih giat mencari kunci untuk membuka pintu tersebut.
Dari sana saya mendapat honor yang lumayan, lumayan untuk menambah uang jajan, beli buku, juga biaya kos, serta kuliah. Meski masih sering minta orangtua sih. Hehe. Artinya belum banyak yang dimuat, tapi alhamdulillah.
Akhirnya setelah empat tahun masa study di IKIP Budi Utomo Malang, saya akhirnya dapat merasakan rasanya memakai toga. Saya memilih jurusan Ekonomi, walau ketika SMA mengambil jurusan IPA cuma satu sih kala itu, dulu kan ekonomi ada embel-embel kewirausahaan. Nah, dari situ saya memang kepengin jadi wirausahawan di bidang kuliner suatu hari nanti. Amin. Saya percaya sih saya bisa. Pasti.
Hari ini saya memandang setumpuk novel yang belum saya baca. Sejujurnya saya sangat merindukan moment semangat-semangatnya menulis cerpen dan novel. Mungkin karena sudah lama tidak menulis, tulisan saya banyak yang mutung. Ada perasaan sedih yang entah sih. Tapi alhamdulillah, perlahan mimpi-mimpi kecil saya terwujud. Mimpi yang sebelumnya tampak sangat mustahil lewat Allah dengan perantara dipertemukan orang-orang hebat, saya bisa mencicipi manisnya sebuah mimpi.
Saya diterima jadi pengajar di salah satu SMK swasta di daerah saya. Sekolah kecil dengan murid-murid luar biasa hebat. Rasanya ada haru yang membuncah kuat dalam dada saya. Benar, saya bersyukur untuk semua hal baik yang ada di dunia. Ketika sedang tidak mengajar rasanya rindu. Bertemu murid-murid mungkin seperti obat penyemangat sehingga rasanya hidup jauh lebih bermakna.
Saya sendiri yakin mimpi itu harus dikejar, tapi juga tetap realistis. Artinya kita juga harus memikirkan sejumlah hal lain. Jujur ketika memutuskan ingin jadi pengajar ada sejumlah pihak yang menyayangkan pilihan saya dengan bertanya, selain jadi pengajar apa tidak ingin melamar kerja di tempat lain. Seperti bank, perusahaan, dan blabla?
Ya, jadi pengajar selalu dikaitkan dengan honor. Tapi bagi saya pribadi, pengajar adalah jawaban untuk terus belajar dan menularkan hal-hal positif dengan lebih banyak. Saya percaya rezeki itu akan selalu ada. Saya yakin. Ada banyak jalan untuk memperoleh rezeki lebih dengan tetap menjadi pengajar.
Sekali lagi menjadi pengajar adalah mimpi saya. Lalu, apakah dengan mudah saya meninggalkannya?
Sampai suatu ketika di akhir tahun 2012 saya berpikir laptop ini buat apa? Bisa menghasilkan uang nggak sih?
Dan, saya berpikir untuk mulai menulis. Menulis yang awalnya di buku tulis lalu dipindahkan ke laptop. Iya, sebenarnya saya sendiri masih kagok menggunakan piranti tersebut. :D
Saya mulai bergabung ke sejumlah grup kepenulisan sampai akhirnya ..., saya menemukan sejumlah grup yang memang oke buat belajar. Cerpen pertama yang saya bikin saya kirim. Oh iya sejatinya saya suka menulis sejak SMA. Menulis di buku tulis dengan kisah-kisah ala ftv. Dulu bahkan sempat ketika saking asyiknya menulis di buku, bapak sempat mengatakan ingin membakar buku saya. Well, haha ... mungkin karena dulu itu saya lupa tidak melakukan sesuatu. Maybe, nyusul ngangon bebek. Wahaha.
Apakah cerpen saya bernasib baik?
Tentu tidak. Ya, saya memang masih nol istilahnya di dunia kepenulisan. Cerpen saya tersebut mendapat sejumlah tanggapan pedas dan membuat saya jatuh. Hahaha. Bersyukurnya perasaan itu lekas hilang dengan membaca sejumlah komentar positif dan melupakan sejenak komentar kekurangan, meski pelan-pelan cerpen tersebut saya perbaiki.
Tahun 2013, awal tahun saya meniatkan diri benar-benar terjun ke dunia literasi. Artinya saya harus punya target media yang jelas. Ingin membuktikan jika saya ini layak. Cerpen yang saya bikin juga saya yakinkan layak beradu di media. Meski sejatinya saya ini merupakan type yang selalu tidak pede dengan karya sendiri.
Media lokal adalah tujuan awal saya
Saya pun mulai mengincar media lain, ketika itu Fajar Makasar adalah pilihan saya. Ternyata cerpen pertama saya dimuat, menyusul beberapa cerpen lain (yang sayangnya baru saya ketahui beberapa tahun setelah dimuat). Di sini ada honornya, 50 ribu untuk 1 cerpen. Sayangnya ternyata honor cerpen saya tidak dibayarkan. Sedih? Iya, karena ternyata tidak satu cerpen yang dimuat. Yang jadi pertanyaan setiap ditagih via e-mail tidak pernah ada tanggapan. Saya pun mulai melupakan media ini dan sempat mutung nulis beberapa bulan.
Sebab jalan itu pasti ada
Ya, saya percaya kalau saya berhenti menulis hanya karena honor kok rasanya naif banget. Saya pun mulai meluruskan niat ketika itu. Menulis yang bikin bahagia mungkin ya. Artinya menulis adalah media bagi saya buat hiburan saat penat banyak tugas atau sejumlah hal lain yang memberatkan pikiran. Dan, kala itu cara ini efektif. Saya mulai menulis lagi dan memilih langsung menarget media yang jelas. Media nasional, majalah-majalah.Cerpen saya akhirnya menemukan muaranya untuk pertama kali di Majalah Hai. Majalah cowok kalangan anak muda di mana kontennya hampir semua saya suka, termasuk rubrik cerpennya. Media ini sangat berkesan bagi saya. Dulu redakturnya memberikan kesempatan pada saya merevisi cerpen yang saya kirim. Tanggapannya pun positif dengan membalas e-mail revisi saya, lalu beberapa minggu setelahnya memberikan kabar jika akan dimuat dengan memberikan alamat e-mail penagihan honor jika lewat tenggat.
Waw. Waw. Pikir saya kala itu.
Lalu saya pun mulai mengirimkan sejumlah cerpen lain ke beberapa media. Alhamdulilah, jawaban atas segala keresahan itu terjawab. Allah maha baik. Saya percaya ketika salah satu pintu ditutup, mungkin rezeki kita ada di pintu yang lain dengan lebih giat mencari kunci untuk membuka pintu tersebut.
Dari sana saya mendapat honor yang lumayan, lumayan untuk menambah uang jajan, beli buku, juga biaya kos, serta kuliah. Meski masih sering minta orangtua sih. Hehe. Artinya belum banyak yang dimuat, tapi alhamdulillah.
Akhirnya setelah empat tahun masa study di IKIP Budi Utomo Malang, saya akhirnya dapat merasakan rasanya memakai toga. Saya memilih jurusan Ekonomi, walau ketika SMA mengambil jurusan IPA cuma satu sih kala itu, dulu kan ekonomi ada embel-embel kewirausahaan. Nah, dari situ saya memang kepengin jadi wirausahawan di bidang kuliner suatu hari nanti. Amin. Saya percaya sih saya bisa. Pasti.
Hari ini saya memandang setumpuk novel yang belum saya baca. Sejujurnya saya sangat merindukan moment semangat-semangatnya menulis cerpen dan novel. Mungkin karena sudah lama tidak menulis, tulisan saya banyak yang mutung. Ada perasaan sedih yang entah sih. Tapi alhamdulillah, perlahan mimpi-mimpi kecil saya terwujud. Mimpi yang sebelumnya tampak sangat mustahil lewat Allah dengan perantara dipertemukan orang-orang hebat, saya bisa mencicipi manisnya sebuah mimpi.
Saya diterima jadi pengajar di salah satu SMK swasta di daerah saya. Sekolah kecil dengan murid-murid luar biasa hebat. Rasanya ada haru yang membuncah kuat dalam dada saya. Benar, saya bersyukur untuk semua hal baik yang ada di dunia. Ketika sedang tidak mengajar rasanya rindu. Bertemu murid-murid mungkin seperti obat penyemangat sehingga rasanya hidup jauh lebih bermakna.
Saya sendiri yakin mimpi itu harus dikejar, tapi juga tetap realistis. Artinya kita juga harus memikirkan sejumlah hal lain. Jujur ketika memutuskan ingin jadi pengajar ada sejumlah pihak yang menyayangkan pilihan saya dengan bertanya, selain jadi pengajar apa tidak ingin melamar kerja di tempat lain. Seperti bank, perusahaan, dan blabla?
Ya, jadi pengajar selalu dikaitkan dengan honor. Tapi bagi saya pribadi, pengajar adalah jawaban untuk terus belajar dan menularkan hal-hal positif dengan lebih banyak. Saya percaya rezeki itu akan selalu ada. Saya yakin. Ada banyak jalan untuk memperoleh rezeki lebih dengan tetap menjadi pengajar.
Sekali lagi menjadi pengajar adalah mimpi saya. Lalu, apakah dengan mudah saya meninggalkannya?
0 komentar